Drone Puna Karya Anak Bangsa

Tidak ada komentar

 Drone Asli Indonesia Elang Hitam, Mirip MQ-9 AS atau CH-4 China
Pesawat tanpa awak (drone) Black Eagle atau Elang Hitam yang diperkenalkan oleh konsorsium enam lembaga bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuktikan bahwa Indonesia sudah bisa mandiri dalam menghasilkan alat keamanan berteknologi tinggi.

Ke depan, industri semacam ini harus didukung agar mendapatkan pasar lebih luas sehingga mencapai tingkat keekonomian secara komersil.

Prototipe pesawat udara nirawak (PUNA) Medium Altitude Long Endurance (MALE) yang diberi nama Elang Hitam atau Black Eagle itu, kemarindiperlihatkan di hanggar PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Kota Bandung, Jawa Barat.

Pengenalan Black Eagle menandai dimulainya tahapan terbang yang diharapkan dilakukan pada 2020. Pesawat tanpa awak itu ditargetkan selesai dan bisa dioperasikan pada 2024 mendatang, setelah mendapatkan sejumlah uji sertifikasi.

"Pada 2020 akan dibuat dua unit prototype. Nanti masing-masing untuk tujuan uji terbang dan uji kekuatan struktur di BPPT. Di tahun yang sama, proses sertifikasi produk militer juga akan dimulai dan diharapkan pada akhir tahun 2021 sudah mendapatkan sertifikat tipe dari Pusat Kelaikan Kementerian Pertahanan RI," kata Direktur Utama PTDI Elfien Goentoro di Bandung, Jawa Barat, kemarin.

Serangkaian proses sertifikasi tersebut, kata dia, sekaligus untuk mengintegrasikan sistem senjata pada prototype PUNA MALE yang dilakukan di 2020. Sehingga diproyeksikan sudah mendapatkan sertifikasi tipe produk militer.

Elfien mengatakan, pesawat nirawak ini mampu terbang dengan maximum endurance 30 jam dalam perhitungan maximum cruising speed 235 km/jam. Tak hanya itu, pesawat yang dikendalikan dari jarak jauh ini mampu terbang sejauh 250 km. Namun, pesawat ini hanya mampu membawa beban sekitar 300 kg. Beban ini rencananya bisa dipakai untuk kebutuhan militer seperti membawa misil atau rudal.

"Tetapi untuk tahap awal bukan untuk kombatan. Tetapi bisa dipakai untuk kebutuhan pengawasan dari udara seperti ancaman daerah perbatasan, terorisme, penyelundupan, pembajakan, serta pencurian sumber daya alam seperti illegal logging dan illegal fishing," kata dia.

Drone Black Eagle memiliki lebar 16 meter, panjang 8,65 meter, dan tinggi 2,6 meter. Saat take off, pesawat bisa mengunakan landasan sepanjang 700 meter. Sedangkan saat mendarat (landing) bisa pada landasan sepanjang 500 meter. Kemampuan ini hampir mirip dengan pesawat N219 buatan PTDI yang dibuat untuk bandara perintis.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, pesawat Udara Nir Awak (PUNA) jenis Medium Altitude Long Endurance (MALE) diperlukan untuk membantu menjaga kedaulatan NKRI dari udara yang sangat efisien dan dapat mengurangi potensi kehilangan jiwa (tanpa pilot).

Dengan kemandirian ini, maka PUNA MALE buatan Indonesia dapat mengisi kebutuhan squadron TNI AU untuk dapat mengawasi wilayah NKRI melalui wahana udara. Selain itu kegiatan dapat mengembangkan industri dalam negeri yang sesuai dengan mandat Undang-Undang No 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

"Produk ini diharapkan mengisi kebutuhan impor nasional. Sehingga menjadi negara mandiri dan kompetitif," imbuh dia.

Sementara itu, Komisi I DPR mengapresiasi atas diluncurkannya prototype drone Black Eagle produksi industri pertahanan (inhan) dalam negeri. Namun, DPR berharap bahwa pengembangan drone tersebut ini tidak hanya berhenti pada prototype saja, pemerintah juga perlu membelinya sehingga punya nilai ekonomi tinggi.

“Selanjutnya adalah komitmen pemerintah, berapa banyak yang akan dibeli untuk digunakan, baik keperluan sipil seperti pemetaan, atau keamanan kawasan seperti monitoring ilegal fishing ataupun militer,” kata Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi, kemarin.

Namun, kata Bobby, tantangan utama sebagaimana produk inhan terdahulu adalah, teknologi industri strategis seperti ini biasanya berhenti sampai prototype saja. menurutnya, kalaupun sampai pada tahap komersial, tidak produksi sampai volume keekonomian yang tinggi seperti Anoa, dan pesawat CN-235.

“Pemerintah perlu berikhtiar, bila ingin mengembangkan industri pertahanan dalam negeri, perlu membeli dalam jumlah yang cukup ekonomis,” ujarnya.

Terlebih lagi, ujar Bobby, belum ada roadmap pembelian drone Black Eagle dalam MEF 3 2020-2024. Bahkan, saat Menko Polhukam masih dijabat Wiranto, kata dia, justru yang dumumkan adalah drone CH-4 buatan China yang masuk dalam formasi militer.

“Kata panglima, sudah masuk renstra II, bukan Black Eagle. Harapannya bisa masuk ke depan,” harap Politisi Partai Golkar itu.

Tetapi, terkait apakah Black Eagle ini memenuhi standar pertahanan dalam negeri, Bobby meyakini bahwa TNI yang lebih paham. Komisi I DPR mendukung apabila memang Black Eagle sudah bisa masuk standar tempur TNI dalam negeri dan masuk daftar belanja.

“Pasti DPR mendukung kemajuan inhan dalam negeri, dengan mengawal kebijakan Undang-Undang Inhan tahun 2012 , dan evaluasi kandungan lokal, dan Menhan perlu segera mengangkat formasi KKIP yang baru,” tambahnya.

Selain kemampuan membuat drone untuk kepentingan militer, BUMN nasional lainnya juga dikenal dengan keberhasilan memproduksi berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista). Misalnya PT Pindad yang berhasil memproduksi persenjataan jenis pistol dan senapan serbu yang kerap digunakan oleh militer asing.

Pindad juga memproduksi kendaraan tempur yang laku di luar negeri seperti Panser Anoa dan kendaraan taktis Komodo yang teruji di berbagai medan pertempuran. Khusus Anoa bahkan resmi menjadi panser yang digunakan oleh pasukan khusus perdamaian PBB.

Di sektor lain, BUMN lain yakni PT PAL juga mencatatkan prestasi tidak sembarangan. Perseroan yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur itu bisa memproduksi kapal perang sampai dengan jenis korvet dan frigate. Teranyar, perusahaan itu juga berhasil mengekspor kapal militer jenis landing platform dock (LPD) ke Filipina.

Libatkan Konsorsium

Elfien menambahkan, inisiasi pengembangan PUNA MALE telah dimulai oleh Badan Penelitian dan Pengembanga (Balitbang) Kementerian Pertahanan (Kemhan) sejak tahun 2015 dengan melibatkan TNI, Ditjen Pothan Kemhan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan PT Dirgantara Indonesia (Persero).

Proses perancangan drone tersebut dimulai dengan kegiatan preliminary design, basic design dengan pembuatan dua kali model terowongan angin dan hasil ujinya di 2016 dan 2018 di BPPT. Kemudian pembuatan engineering document and drawing pada 2017 dengan anggaran dari Balitbang Kemhan dan BPPT.

Pada 2017 terbentuk perjanjian bersama berupa Konsorsium Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA MALE) dengan anggota yang terdiri atas Kementerian Pertahanan RI yaitu Ditjen Pothan dan Balitbang, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), TNI AU (Dislitbangau), Institut Teknologi Bandung/ITB (FTMD), BUMN yaitu PT Dirgantara Indonesia (Persero) dan PT Len Industri (Persero). Kemudian pada 2019 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) masuk sebagai anggota konsorsium.

Pada 2019, proyek drone memasuki tahap manufacturing yang diawali oleh proses design structure, perhitungan finite element method, pembuatan gambar 3D, dan detail drawing 2D yang dikerjakan oleh engineer BPPT dan disupervisi oleh PT Dirgantara Indonesia (Persero).

Kemudian dilanjutkan dengan proses pembuatan tooling, molding, cetakan dan selanjutnya fabrikasi dengan proses pre-preg dengan autoclave. Di tahun ini juga dilakukan pengadaan Flight Control System (FCS) yang diproduksi di Spanyol yang diproyeksikan akan diintegrasikan pada prototype pertama PUNA MALE yang telah di manufaktur oleh PT Dirgantara Indonesia pada awal tahun 2020.

Proses integrasi dilaksanakan oleh engineer BPPT dan PT Dirgantara Indonesia yang telah mendapatkan pelatihan untuk mengintegrasikan dan mengoperasikan sistem kendali tersebut.

"Semoga seluruh tahapan pekerjaan dalam proses pengembangan pesawat PUNA MALE ini dapat berjalan dengan lancar, sebagaimana yang direncanakan dan kemudian dapat dioptimalkan fungsinya untuk kebutuhan Surveillance dan Target Acquisition,” ujar Elfien. (Arif Budianto/Kiswondari)

Drone Asli Indonesia Elang Hitam, Mirip MQ-9 AS dan CH-4 China?

PT Dirgantara Indonesia memperkenalkan prototipe drone asli Indonesia yang disebut Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) jenis Medium Altitude Long Endurance (MALE). Drone ini selintas mirip MQ-9 AS dan CH-4 China.

“Tahun depan targetnya terbang perdana,” kata Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Elfien Goentoro di sela Roll-Out PUNA MALE, di hanggar PT Dirgantara Indonesia, di Bandung, Senin, 30 Desember 2019.

Menurut Elfien, drone tersebut diinisiasi oleh Badan Litbang Kementerian Pertahanan pada 2015.Dua tahun kemudian resmi dimulai pengembangannya dengan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama pembentukan Konsorsium Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) antara Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Udara, BPPT, ITB, PT Dirgantara Indonesia, dan PT LEN Industri. Tahun 2019, Lapan menyusul bergabung menjadi anggota Konsorsium.

Rancangan PUNA MALE mengikuti Design, Requirement, and Objectives (DRO) yang disepakati untuk dipergunakan oleh TNI Angkatan Udara. Di antaranya mampu mengudara dan mendarat di landasan pendek 700 meter, mengudara hingga ketinggian 20 ribu kaki atau 6 ribu meter, memiliki kecepatan maksimal 235 kilometer per jam, dengan durasi mengudara maksimal hingga 30 jam, serta mampu mengusung beban hingga 300 kilogram.

Elfien mengatakan, kemampuan PUNA MALE tersebut ditargetkan bisa menyampai drone CH-4 produksi China yang belum lama dimiliki oleh TNI Angkatan Udara. “Kalau bisa lebih. Yang penting sesuai dengan DRO tadi, yang di inginkan oleh user kita, Angkatan Udara. Mereka targetnya dalam strategic plan harus ada 2 skuadron, terdiri dari 16 unit. Kita baru beli 6 unit, mudah-mudahan kita bisa kerja-sama untuk meneruskan itu,” kata dia.

Drone ini ditargetkan terbang pada 2024. Drone dirancang bisa mengangkut roket. Rencananya PUNA MALE akan di integrasikan dengan roket FFAR (Folding Fin Aerial Rocket) kaliber 70 milimeter produksi PT Dirgantara Indonesia.

Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro sudah menyiapkan nama untuk PUNA MALE yang dikembangkan Konsorsium PTTA yakni Elang Hitam atau Black Eagle. “Kita punya kebanggaan untuk burung yang kita gunakan untuk berbagai pesawat udara nir awak. Ada Wulung, Alap-Alap, dan PUNA MALE kombatan ini dinamakan Black Eagle, elang hitam,” kata dia

Hammam mengatakan, PUNA MALE untuk menjawab kebutuhan pesawat udara yang mampu melakukan pengawasan yang efisien. Progra PUNA MALE sekaligus untuk membangun kemampuan penguasaan teknologi kunci pesawat nir awak. Diantaranya flight control system, weapon platform integration, electro optic targeting system, hingga penguasaan teknologi material komposit. “Ini semua teknologi kunci yang tidak dapat diberikan negara lain secara cuma-cuma pada kita,” kata dia.

PUNA MALE memiliki panjang 8,65 meter, bentang sayap 16 meter, tinggi 2,6 meter, bobot 1.300 kilogram. PUNA MALE ditargetkan mampu mengangkut beban maksimal 300 kilogram, kecepatan maksimal 235 kilometer per jam, maksimal terbang 30 jam.

Komentar